Sunday, 13 March 2016

ABOUT COOKING


Hal yang terbersit dalam pikiran saat mendengar mendengar kata memasak pastilah makanan, dapur dan tukang masak. Kalau saya, kata yang akan keluar jika mendengar kata masak adalah interesting. Akhir-akhir ini, dunia kuliner, juru masak dan chef mendapat sorotan atau nilai gengsi yang lumayan tinggi dibanding dulu. Senang lah, pada akhirnya orang-orang semakin melek dengan pekerjaan Chef. Banyak juga yang latah, ikut-ikutan trend karena pekerjaan memasak saat ini semakin dilirik orang, padahal skill aja nggak punya. Lima tahun yang lalu, pekerjaan seorang koki atau juru masak dipandang sebelah mata. Memasak dianggap sebagai pekerjaan rendahan dan kasar. Pekerjaan pembantu gitu loh. Apa sih susahnya masak, semua orang juga bisa ? Masak air maksudnya kali yaa ... He he he. Sains dan kerja kantoran dianggap lebih terhormat, bukan pekerjaan tiyang wingking alias orang-orang di belakang. Saya sering melihat anak muda punya skill memasak, tapi nggak boleh masak sama ortunya apalagi laki-laki, takut dikira banci.

Meski wanita memiliki kodrat sebagai penghuni dan penguasa dapur, faktanya, dunia masak memasak sejak jaman dulu didominasi oleh kaum pria dan mereka juga tidak menjadi banci. Alasan yang paling mendasar adalah mereka memiliki sifat yang lebih stabil dibandingkan wanita. Mereka tidak mengalami PMS layaknya wanita, yang mudah mengalami gangguan emosional dalam hal apapun alias baper. Gue banget nih … LoL. Disamping itu, peralatan dapur yang digunakan cenderung berukuran besar dan berat. Tentunya, tenaga pria lebih banyak diandalkan dalam hal ini ketimbang wanita. Asal tahu aja, badan dan tangan saya selalu penuh tempelan koyo kalau habis masak secara marathon.

Banyak yang mengira kalau Chef itu sama dengan Koki. Iya sih sama, sama-sama bergelut dengan pisau dan panas. Bedanya kalau Chef itu lebih luas jangkauannya. Setelah lulus dari sekolah memasak pun seseorang belum bisa disebut Chef, kecuali kalau dia terjun di bidang kuliner dan memasak sendiri makanan yang disajikan untuk tujuan komersial. Seorang Chef harus ahli dalam hal anggaran, menentukan menu, kualitas bahan, pengolahan dan penyajian. Bukan hanya untuk satu atau sepuluh orang aja, tapi banyak orang. Kalau koki hanya sebatas memasak aja. Seorang chef harus menguasai metode memasak, memiliki jiwa seni dalam memasak serta dapat mengolah makanan secara higienis. Dan yang lebih penting, bermental tangguh, mau terus belajar dan siap menerima kritikan. 

Kita bisa melihat kalau ada seorang dengan pendidikan tinggi tiba-tiba ganti karier, meninggalkan pekerjaannya karena ikut kompetisi master chef atau membuka usaha di bidang kuliner. Semua orang boleh berpikir kalau mereka bisa masak, segampang menjentikkan jari kelingking ... keciil. Kan banyak resep bertebaran, tinggal googling atau membaca di majalah, pasti bisa. Padahal kenyataannya, banyak resep yang beredar itu abal-abal alias ngawur. Dan tidak semua orang bisa menginterpretasikan sebuah resep. Makanya banyak pembaca resep yang gagal dalam praktek atau usaha kulinernya bangkrut karena masakannya gagal diterima kebanyakan orang. Kalau sudah begitu baru tahu ternyata masak sekaligus menjalankan usaha itu nggak gampang sama sekali. Tidak secara instan dan it's not easy. Menjadi seorang Chef itu very-very hard work, dari kepala sampai ke kaki. Tidak ada kata hari libur kecuali kalau mereka meliburkan diri dari kegiatan memasak, kayak pemilik blog ini nih … LoL. 

Saat ini banyak pendidikan yang menawarkan basic kuliner. Tapi faktanya, tidak semua chef berasal dari sekolah kuliner, termasuk saya. Dan tidak semua lulusan sekolah kuliner itu jago masak atau masakannya pasti enak. Meski bukan lulusan sekolah kuliner, masakan yang dihasilkan juga tak kalah enak, bahkan sering menjadi buruan. Sebut saja, Ina Garten, Tom Collicchio, Jamie Oliver, Bara, Juna dan lain-lain. Tapi umumnya nih, mereka yang lihay memasak itu memang sudah dari sononya sudah punya DNA memasak dan punya guru atau mentor terdekat, seperti ibu dan nenek. Merujuk dari buku yang berjudul Professional Cooking oleh Wyne Gisslen, dalam buku itu disebutkan, ijazah tidak akan membuat anda menjadi seorang Chef dan anda baru bisa disebut sebagai juru masak setelah memasak ribuan kali. Nah, lo, meskipun sudah punya natural talent, tetap saja perlu pengalaman dan jam terbang yang tinggi, karena seorang Chef itu harus bisa menciptakan resep-resep baru. Menghasilkan masakan yang lezat, enak dilihat serta sehat itu membutuhkan keahlian dan pengetahuan mengenai kuliner yang mendalam. Perlu waktu bertahun-tahun dan tidak sekedar asal bisa memasak atau membuat kue aja.

Perjuangan ekstra keras, kesabaran yang tinggi dan pikiran yang jernih. Mulai dari memadukan resep, menakar bahan, mengolah, tata cara penyajian, hingga tata cara makan hampir semuanya bermula di sini. Seseorang harus punya passion dan punya skill. Punya passion aja tapi nggak ada skill ya percuma. Perlu belajar secara kontinyu, pengalaman bertahun-tahun, praktek dan kreatifitas yang tinggi. Itu belum termasuk pengorbanan fisik saat beradu dengan pisau dan panas. Sudah tidak terhitung, berapa kali tangan saya melepuh, muka kecipratan minyak, jari berdarah-darah dan lidah kepanasan saat mencicipi makanan. Belum lagi tangan yang kesleo, pengorbanan lahir batin banget.

Dulu, sewaktu masih berumur 5 tahun, saya hanyalah seorang anak kecil yang hobi mengumpulkan resep masakan dari majalah Kartini dan Sarinah milik ibu saya. Booklet resep yang ditaruh ditengah-tengah halaman majalah itu saya cabut dan sampai sekarang masih saya simpan, sering saya baca juga. Pada saat itu saya juga tidak pernah berpikir kalau nantinya bakalan terjun di bidang kuliner. Sudah menjadi suratan takdir kali yaa … he he he. Memang sih, keluarga saya punya DNA tukang masak, mulai dari nenek buyut saya, nenek saya dan Ibu saya. Mungkin cuma ibu saya yang mengenyam pendidikan tata boga alias kuliner. Nah, ini nih yang terbalik, ibu saya lulusan sekolah kuliner tapi tidak menjadi Chef, cuma koki aja. Ibu saya tidak pernah mau menciptakan resep baru, tidak mau memakai bahan-bahan dan makanan lain, misalnya dari luar daerah atau luar negeri, pokoknya Jawa maniak-lah. Soal anggaran, menu, serving dan segala tetek bengek lainnya, saya yang mengatur. Pun kalau di TV ada acara memasak memakai bahan yang menurutnya agak aneh, saya yang dipanggil, disuruh melihat. 

Saya sendiri tidak ingat persis-nya, sejak kapan saya mulai lihay memasak. Yang saya ingat, masakan pertama yang saya buat adalah es janggelan alias cincau hitam. Bukan masakan ya, lebih tepatnya dessert. Sekitar umur 6 tahunan lebih dikit lah. Es cincau itu memakai santan, gula jawa dan perasan jeruk nipis. Sesuai dengan pengamatan saat melihat nenek saya membuatnya. Tapi ada kesalahannya, santan yang seharusnya segar tapi malah saya rebus. Rasanya sih sama, cuma kurang manis dan lebih cenderung ke kolak cincau daripada es cincau. Maklum aja, anak kelas 1 SD, pengamatan kurang jeli. 

Setelah itu saya nggak pernah coba-coba masak lagi, paling banter bikin sambal untuk dimakan sendiri atau rujakan sama teman-teman main. Lebih cenderung jadi pengamat, misalnya mengamati Ibu teman saya yang jualan peyek dan lempeng singkong ( opak ) waktu masih tinggal di Yogya. Saya amati betul bagaimana cara membuatnya dan Alhamdulillah, sampai sekarang masih bisa saya ingat. Waktu SMP kelas III di Blora, juga ada pelajaran PKK dan ada praktek memasaknya juga, tapi lebih seringnya sih ngalah dan diam aja soalnya ada teman yang judes banget, merasa sok jago masak. Resep ibunya yang paling bener di dunia, padahal menurut guru PKK, salah kejadian tuh resep … he he he. Juga pada saat kuliah, teman-teman tahunya saya lebih banyak menjadi tukang dolan dan penggiat kuliner alias si tukang jajan daripada tukang masak. Mungkin banyak yang kaget, apalagi waktu itu saya tidak pernah memperlihatkan minat dan keahlian di bidang kuliner. Kalau sekarang ada yang mencibir, saya mah maklum aja, yang tidak tahu, biarkanlah tidak tahu. Iya nggak ?

Padahal sebenarnya pada waktu kuliah itulah, saya mulai di training sama nenek saya, diajari dasar-dasar memasak, membuat kue, menakar bahan dan merasakan makanan. Ini yang paling penting, mengasah indra perasa alias kemampuan mencicipi suatu masakan dan bahan apa saja yang digunakan. Tiap orang bisa memasak namun teknik dan indra perasa bukanlah suatu kebiasaan melainkan hal yang harus dipelajari bertahun-tahun dengan susah payah. 

Dari nenek saya banyak belajar, mungkin karena nenek saya hidup di jaman kolonial makanya lebih banyak tahu tentang makanan dalam dan luar daripada ibu saya yang notabene jebolan sekolah kuliner. Jujur, kalau memasak dan membuat kue, meskipun ada perbandingannya, saya jarang sekali memakai timbangan kecuali kalau membuat cake. Sama seperti nenek saya, ukuran yang saya pakai adalah ukuran alam alias tangan saya sendiri. Jadi, main feeling aja. Begitu juga dengan menginterpretasikan resep. Kalau kita terpaku pada satu resep, maka kita tidak bisa berpikir out of box, jadinya cuma kesitu-situ aja. Nenek saya bilang, nek moco resep kuwi, enték omah enték alas. Maksudnya pikiran kita jadi tidak kreatif dan pastinya boros di bahan karena biasanya si penulis resep hanya menunjukkan sisi baiknya aja. Membuat resep dengan bahan-bahan keluaran swalayan besar. Kalau bahan yang digunakan bagus sudah pasti rasanya enak. Tantangan memasak sebenarnya itu bahan minimal dan mudah didapat disekitar tapi rasa maksimal. Karena tidak semua orang bisa membeli bahan dengan kualitas A, misalnya mentega bermerk, coklat bermerk atau bahan lainnya. Pelajaran seperti itu yang tidak bakalan didapatkan di sekolah kuliner atau kursus memasak manapun. Disana cuma diperlihatkan bahan dengan kualitas bagus, diajarkan tehnik memasak dan skill-nya aja. Soal tips atau cara mengatasi kegagalan dalam memasak dan yang lainnya, harus belajar otodidak dan pinter-pinter mengamati alias nyuri resep dari Chef yang jadi mentor. Itu kata anak-anak SMK yang nge-kos dirumah nenek saya saat magang di hotel Sahid Jaya … LoL. 

Dulu, awalnya saya belajar membuat kue semprit, setelah itu meningkat ke kue basah atau cake lalu ke main course. Bahan-bahan yang dipakai tidak menggunakan pengawet, pewarna dan bahan kimia. Peralatan yang digunakan juga tradisional, balloon whisk jadul, loyang dan otang alias oven tangkring, itu oven yang nangkring diatas kompor minyak. Ballon whisk jadul inilah yang menjadi ujian terberat dan bikin tangan pegel linu. Meskipun dirumah nenek ada mixer, katanya sih tukang kue itu harus lihay mengocok telur dengan tangannya sendiri. Setelah itu semua mengalir seperti air, saya bisa memasak makanan tradisional, membuat selai, meramu resep dan mengenali bahan-bahan berkualitas bagus. Peralatan yang saya gunakan juga semakin bertambah. Yang awalnya cuma mixer Phillip, oven tangkring Bima dan satu buah loyang kue kering, sekarang dua lemari besar sudah untel-untelan, penuh sesak.

Order pertama datang ke saya tahun 1997, snackbox 250 buah, untuk acara di kampung tempat saya KKN. Modal nekat dan tekad sih, sebenarnya. Saat itu masih ada nenek dan bude saya, jadi dulu nggak sendirian gitu, ada yang membantu. Snackbox saya kasih label Zahra, nama nenek saya dan sekarang sudah menjadi brand Catering. Setelah nenek saya meninggal, saya sama bude yang menjalankan. Karena banyaknya order kue kering setiap lebaran, tahun 2004, saya berpikir untuk mengembangkan ke pastry dan bakery. Yang ini dengan nama saya sendiri. Sejak tahun 2008, semua label saya sudah mendapatkan sertifikasi dari Depkes. Jam terbang saya di bidang pastry lebih banyak di bandingkan di bidang main dish karena disitu ada ahlinya makanan tradisional yaitu ibu saya. So, I am the only one Pastry Chef in my family ...he he he.

Sama hal-nya dengan menulis novel, cerpen atau novelette, memasak bagi saya adalah suatu perjalanan hidup dan bukan untuk mencari sensasi ataupun popularitas. Ada juga yang mengatakan hanya ikut-ikutan, sok pamer makanan berbahasa Inggris atau kebarat-baratan, waduh ... nggak banget yaa. Asal tahu aja, kebanyakan panduan memasak itu berbahasa Inggris dan Perancis. Seorang Chef itu harus mengerti minimal bahasa Inggris, harus mau mempelajari kuliner negara lain, mencoba semua makanan dan buat saya yang terpenting adalah halal. Ada banyak Chef yang belajar memasak secara otodidak dan kini terkenal sebagai chef handal. Restorannya pun mendapat banyak pujian dari para kritikus makanan. Yang pasti punya tekad kuat, tahan kritikan, selalu mempunya ide-ide baru, belajar tanpa henti, tidak pernah bosan dalam berusaha dan tidak menganggap remeh masakan orang lain. 

Memang sih, membutuhkan tahunan pengalaman. Lamban tidak masalah, yang penting pasti dalam meraih mimpi. Hidup saya adalah menulis dan memasak. Kalau pada akhirnya apa yang saya tekuni ini menjadi besar, banyak orang menyukai tulisan dan masakan saya, Alhamdulillah wa syukurillah. Pun, bila orang tidak menyukainya, tidak menjadi masalah buat saya. Saat menulis dan memasak, hal yang saya pikirkan hanya bagaimana menghasilkan makanan atau kue yang enak, membuat resep baru yang mudah diaplikasikan dengan harga yang terjangkau. Yang pasti, saya tahu kemana arah yang saya tuju. Karena ilmu yang saya dapat gratisan, Inshaallah saya akan terus berbagi resep dan tips dengan Anda semua. Resep bisa dicopy paste kok, kecuali gambar-gambar saya kasih label karena yang ini saya belum rela. Minta yang ori boleh sih asal ada royalti-nya, just kidding … he he he. Semoga blog ini bermanfaat bagi Anda semua ... Aamiin.

Have a nice day …



No comments:

Post a Comment